Langsung ke konten utama

Kelabu Asap (Publikasi Ulang)

 KELABU ASAP



Saat pertama kali mengetahui berita bahwa kebakaran hutan di Kalimantan terjadi lagi, dan lagi dan begitu ramai disebarluaskan di media sosial akhir-akhir ini seketika saya pun ingin sekali dapat bercerita tentang bagaimana rasanya menghirup udara yang bercampur dengan asap itu.

Tahun 2015, empat tahun yang lalu saat saya masih duduk di kelas X atau satu SMA kabut asap akibat kebakaran hutan juga terjadi, persis sama seperti yang terjadi tahun ini. Pada saat itu kami (masyarakat kota Pangkalan Bun) merasakan bahwa itu adalah salah satu peristiwa kabut asap yang paling parah yang pernah terjadi slama ini. Mengapa demikian? Karna pada saat itu kabut asap terjadi berbulan-bulan lamanya, ketebalan jarak pandang paling parah bahkan mencapai angka dibawah 10 meter, Taman Nasional Tanjung Puting (Taman Nasional yang merupakan habitat sekaligus penangkapan Orang Utan) pun ikut dilalap oleh si jago merah, tidak ada hujan, aktivitas warga pun terhambat, sekolah-sekolah pun terpaksa diliburkan sampai kondisi dikira memungkinkan kembali, dan jangan tanya tentang korban, pasien ISPA menjadi meningkat di Rumah Sakit. Bagi kalian yang belum tau bagaimana rasanya, bayangkan saja kalian membakar sampah lalu berdirilah di sekitarnya, bagaimana rasanya? Pasti bernapas sangatlah menyakitkan bukan? Terganggu, tidak nyaman. Apalagi ini, kebakaran hutan, berhektar-hektar, terlebih lagi tanah Kalimantan adalah tanah gambut yang jika terbakar maka bukan hanya pohon atau tanaman di atasnya saja yang terbakar melainkan juga tanah di dalamnya karna tanah gambut sendiri terbentuk dari bahan organik sisa-sisa dari pepohonan yang telah lama mati. Tidak hanya napas saja kawan yang sakit, tapi juga mata. Asap mengakibatkan pedih dan perih saat melihat dalam kabut. Jika hidung dapat ditutupi dengan masker, tapi tidak dengan mata, memakai kacamata pun tidak bisa menjadi solusi. Pilihan terbaik saat kabut terjadi bagi para warga ialah diam di rumah. Tapi mau sampai berapa lama?

Tentu saja yang kami lakukan tidak hanya diam di rumah. Pada saat itu beberapa sekolah bahkan instansi sampai melakukan sholat Istisqa atau sholat meminta turunnya hujan dengan harapan api dapat padam. Itu adalah salah satu cara paling sederhana yang dapat masyarakat biasa lakukan. Tapi jangan tanya dengan TNI, Polisi, Basarnas, apalagi pemadam kebakaran, mereka tentu saja terdapat di garis terdepan untuk memadamkan si jago merah yang luar biasa ini. Helikopter-helikopter yang jujur aku tidak tahu milik siapa pun bolak-balik mengangkut air atau garam untuk membuat hujan buatan dengan harapan dapat memadamkan hutan-hutan.

Kemudia apa sebenarnya yang menyebabkan ini semua terjadi begitu luar biasanya?

Ya, faktor musim kemarau memang menjadi faktor pertamanya, apalagi seperti yang telah aku ceritakan di atas bahwa tanah gambut di hutan Kalimantan sangat mudah sekali terbakar dan sulit untuk dipadamkan. Tapi jika hanya karna kemarau, sejatinya kebakaran hutan ini tidaklah akan jadi sangat luas atau begitu lamanya. Ada faktor-faktor lain tentu saja, ulah manusia salah-satunya. Dan yaa coba tebak saja.... keogoisan, ketamakan mungkin adalah hal yang mendasari itu semua tanpa harus aku ceritakan lebih rinci lagi aku harap kalian sudah dapat memahami.

Dan tahun 2019 ini, tidak ada yang berbeda rasanya, apa yang masyarakat rasakan sama tentunya sama, penyebabnya pun tidaklah jauh berbeda. Tapi yang membuat kejadian ini sedikit lebih ramai lagi adalah ramai ya sosial media oleh para netijen yang menuding-nuding pemerintah tidak becus untuk menangani masalah ini. Ditambah lagi dengan isu-isu kepentingan yang lain, sangkut paut dengan pemindahan Ibu Kota atau lain sebagainya. Namun, disini saya sebagai masyarakat awam tidak ingin menyudutkan pemerintah pusat bukan karna membela tapi tidak juga menyalahkan masyarakat karna keluh kesahnya. Disini saya hanya ingin menuliskan bahwa, jika bencana terjadi sepatutnya yang kita utamakan adalah aksi, apa yang bisa kita lakukan, apa yang bisa kita beri untuk menyelamatkan rumah kita sendiri. Dan, sebagai satu pesan juga berhentilah egois, tampak, dan memikirkan keuntungan sendiri entah bagi bara pelaku pembakaran atau siapapun yang bertanggung jawab atas peristiwa memilukan ini,karna apa dampaknya bukan hanya untukmu seorang, tapi untuk banyak orang, untuk banyak jiwa, bahkan untuk Indonesia. Dan pesan yang tertuju bagi pemerintah adalah tolong tegakkan hukum tentang pembakaran dan pembukaan lahan semena-mena, tangkap dan beri hukuman seadil-adilnya bagi para pelaku dan pedulikanlah kesehatan masyarakat yang menjadi korban atas jahatnya asap kelabu ini.

Publikasi Pertama 17/09/2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlahan dan Puisi Lainnya

https://id.pinterest.com/pin/339951471885217465/ 1. perlahan ia pudar perlahan ia hambar perlahan ia jauh perlahan ia asing perlahan ia layu perlahan ia tumbang perlahan ia surut perlahan ia padam perlahan ia sepi  -lagi seperti sedia kala tanpa dan tiada hanya ada tanya tentang mengapa dan- apakah semua akan berujung sia-sia semata / https://id.pinterest.com/pin/1337074885052673/ 2. jarak yang diberikan oleh waktu meninggalkan tanya dalam kepalaku -bagaimana ? apakah ? oh, entahlah jarak di antara waktu, saat kau menghampiri lalu pergi aku hanya berdiam diri memastikan mentari masih bersinar walau kulitku tak merasa hangatnya dingin dan dingin dari malam semalam / https://id.pinterest.com/pin/844213892663524128/ 3. Jika Aan Mansyur berujar, puisi adalah museum yang lengang maka hari-hariku telah berubah menjadi puisi Namun sepanjang lengang hari ku, kau akan tetap kunanti,  -sebab Jika Sapardi bertanya, "tapi, yang fana adalah waktu bukan?" ku harap dapat menjawabnya dengan

Hobi Kok Jalan Kaki?!

      Satu kalimat pepatah Jawa yang sekarang aku percayai adalah "Trisno jalaran seko kulino" yang artinya  "Cinta datang karena terbiasa". Tapi jangan salah dulu, ini bukan cerita cinta ku terhadap seseorang, melainkan cerita cinta terhadap sebuah kegiatan sederhana, yap "jalan kaki" . Kalau mau dirunut dari jauh maka cerita cinta ini dimulai kurang lebih dari tahun 2015, tahun dimana aku baru masuk SMA. Tapi, karena aku tidak mau terlalu panjang lebar maka kita langsung loncat aja  ke tahun 2018. Tahun 2018 adalah tahun dimana hidup ku berubah, tahun dimana aku pergi jauh untuk merantau. Seperti banyak cerita kehidupan orang-oarang yang merantau dengan segala keterbatasan dan keperihatinan, maka itu juga aku alami. Salah satu keterbatasan yang aku alami adalah hidup tanpa kendaraan pribadi yang  mungkin untuk sebagian orang di zaman yang modern ini adalah sebuah mimpi buruk (hehe maaf kalau lebay) tapi untuk ku tidak ada pilihan lain, toh masih bersyuku

Puisi Kabut, dan Dalam Dunia

1. Dalam Dunia Dalam dunia Riuh gemuruh, suara-suara bising melengking Candu beradu bak serdadu Kelam dalam diam yang suram Bingung linglung, merebah rasa lelah di malam kelam Berkisah rasa lara hingga lega,  Lupa pernah berjumpa Dulu selalu berjuang agar berpeluang Kini nurani ingin mendingin mati Siapa kira kita di antara samudera Berjelaga jiwa-jiwa hampa Sampai kini hati menanti Sampaikah langkah pada kisah yang indah 2. Kabut Dalam perjalanan mendaki Adakalanya kabut menghalangi jalan Kompas tak berfungsi Teman seperjalanan dehidrasi Lalu kita memaksa terus naik Yang ada justru lelah Perasaan hampir menyerah Seperti hilang arah Padahal kita tahu Yang perlu kita lakukan saat itu hanyalah Hanyalah berhenti, berpikir sejenak Melihat sekitar, berbagi minum bertukar haus dengan teman Memperbaiki kompas sebisanya Mengenal pertanda pertana Lalu mengambil langkah setapak bijaksana aem, 15 Juli 2023