Langsung ke konten utama

Aku, Minggu, dan Monolog Bisu Ep.2

 #Episode 2 Masih di hari Rabu

Semua mata kuliah sudah selesai. Tidak ada agenda lain untuk hari Rabu ini, pulang ke kost sudah jadi ketentuan mutlak karna tidak ku temukan tempat pengasingan lain atau tempat melarikan diri yang lebih baik darinya. Jalan pulang dibawah terik dan panas suhu 38° kota ini membuat pikiranku kembali teringat dengan suasana hati yang carut marut tadi pagi, apa yang disampaikan oleh dosen selama 100 menit terlewati begitu saja, rasa lapar sejak pagi pun seketika sirna, hanya karna apa?. Karna dia. Apakah memang harus begini kalau sedang jatuh cinta? Padahal aku sangat benci untuk menjadi tidak teratur seperti itu. Tapi yaa sudahlah,mau bagaimana lagi? Apa mau sudah saja bawa-bawa perasaan ini? Hmmm.


Jalan hampir setengah kilometer ternyata gak kerasa kalau pikiran juga sedang lari-lari entah kemana, raga sudah kembali berdiri saja di depan pintu coklat benomerkan 17. Ya, pintu kamar kostku, dengan nomer pintunya yang aku tidak tau bagaimana tapi bisa sesuai dengan tanggal kelahiranku. Masuk kamar, lepas sepatu, ganti baju, cuci muka, lalu merebahkan badan di atas kasur. Hai nikmatnya hidup andai terus bisa begini saja tapi semua kebutuhan sandang pangan papan sudah tercukupi. Ah ngelantur mana ada hidup seperti itu.


Seperti yang keluarga dan teman-teman ku tahu, aku itu sangat pelor (nempel molor) gampang sekali tertidur tanpa perlu merasa ngantuk, rebahkan saja badan di atas kasur, sofa, atau bahkan di lantai, tunggu lima menit maka simsalabim pulas sudah. Dan yaa pulas, bangun-bangun ternyata sudah malam, dan berbeda 180° dengan cuaca tadi siang malam ini ternyata turun hujan. Oh rasanya, bangun dari tidur merasakan sejuk akibat hujan, suara rintik di atap, ingin rasanya lanjutkan saja lagi tidur. Tapi, sepersekian detik dari terbangunku, hp diatas meja berdering, panggilan masuk dari nomor yang tak kusimpan, tak ku kenal. Ragu, angkat tidak ya? Bisa jadi telpon penipuan, tapi kalau ternyata telpon penting bagaimana? Dan kuputuskan untuk tidak mengangkatnya, kalau memang penting pasti nanti telpon lagi pikir sederhana ku. Dan ya, baru aku baringkan badan, hp ku berdering lagi. Maka aku beranikan untuk mengangkatnya. Dan seseorang entah siapa berbicara tanpa putus, Assalamualaikum, ini Alika kan? Maaf telpon Malam-malam gini, ini Putra. Maaf hari selasa kemarin aku belum sempat ngembaliin topi mu, aku lagi keluar kota kemarin, besok ya aku kembalikan. Besok kamu kelas jam berapa? Haloo?Ini benar Alika kan?


Jantungku berdetak hebat. Kacau. Tuan Minggu ku menelepon? Ah ini pasti mimpi.

Bersambung Episode 3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlahan dan Puisi Lainnya

https://id.pinterest.com/pin/339951471885217465/ 1. perlahan ia pudar perlahan ia hambar perlahan ia jauh perlahan ia asing perlahan ia layu perlahan ia tumbang perlahan ia surut perlahan ia padam perlahan ia sepi  -lagi seperti sedia kala tanpa dan tiada hanya ada tanya tentang mengapa dan- apakah semua akan berujung sia-sia semata / https://id.pinterest.com/pin/1337074885052673/ 2. jarak yang diberikan oleh waktu meninggalkan tanya dalam kepalaku -bagaimana ? apakah ? oh, entahlah jarak di antara waktu, saat kau menghampiri lalu pergi aku hanya berdiam diri memastikan mentari masih bersinar walau kulitku tak merasa hangatnya dingin dan dingin dari malam semalam / https://id.pinterest.com/pin/844213892663524128/ 3. Jika Aan Mansyur berujar, puisi adalah museum yang lengang maka hari-hariku telah berubah menjadi puisi Namun sepanjang lengang hari ku, kau akan tetap kunanti,  -sebab Jika Sapardi bertanya, "tapi, yang fana adalah waktu bukan?" ku harap dapat menjawabnya dengan

Hobi Kok Jalan Kaki?!

      Satu kalimat pepatah Jawa yang sekarang aku percayai adalah "Trisno jalaran seko kulino" yang artinya  "Cinta datang karena terbiasa". Tapi jangan salah dulu, ini bukan cerita cinta ku terhadap seseorang, melainkan cerita cinta terhadap sebuah kegiatan sederhana, yap "jalan kaki" . Kalau mau dirunut dari jauh maka cerita cinta ini dimulai kurang lebih dari tahun 2015, tahun dimana aku baru masuk SMA. Tapi, karena aku tidak mau terlalu panjang lebar maka kita langsung loncat aja  ke tahun 2018. Tahun 2018 adalah tahun dimana hidup ku berubah, tahun dimana aku pergi jauh untuk merantau. Seperti banyak cerita kehidupan orang-oarang yang merantau dengan segala keterbatasan dan keperihatinan, maka itu juga aku alami. Salah satu keterbatasan yang aku alami adalah hidup tanpa kendaraan pribadi yang  mungkin untuk sebagian orang di zaman yang modern ini adalah sebuah mimpi buruk (hehe maaf kalau lebay) tapi untuk ku tidak ada pilihan lain, toh masih bersyuku

Puisi Kabut, dan Dalam Dunia

1. Dalam Dunia Dalam dunia Riuh gemuruh, suara-suara bising melengking Candu beradu bak serdadu Kelam dalam diam yang suram Bingung linglung, merebah rasa lelah di malam kelam Berkisah rasa lara hingga lega,  Lupa pernah berjumpa Dulu selalu berjuang agar berpeluang Kini nurani ingin mendingin mati Siapa kira kita di antara samudera Berjelaga jiwa-jiwa hampa Sampai kini hati menanti Sampaikah langkah pada kisah yang indah 2. Kabut Dalam perjalanan mendaki Adakalanya kabut menghalangi jalan Kompas tak berfungsi Teman seperjalanan dehidrasi Lalu kita memaksa terus naik Yang ada justru lelah Perasaan hampir menyerah Seperti hilang arah Padahal kita tahu Yang perlu kita lakukan saat itu hanyalah Hanyalah berhenti, berpikir sejenak Melihat sekitar, berbagi minum bertukar haus dengan teman Memperbaiki kompas sebisanya Mengenal pertanda pertana Lalu mengambil langkah setapak bijaksana aem, 15 Juli 2023