Langsung ke konten utama

Menengok Kebelakang (2021) #MemaknaiKehilangan

 


Draft ini sudah setengah tahun terabaikan, alasanya? Kurang motivasi untuk  konsisten atau terlalu menyibukan diri. Ya begitulah kiranya mood bekerja, naik dan turun, hari ini bilang "besok aku harus produktif" tapi kenyataannya saat sudah sampai di "besok" malah lupa dan tidak melakukan apa-apa. Makadari itu, dengan tujuan untuk membayar hutang kepada diri sendiri walapun mungkin akan sedikit basi tapi, kenapa tidak? Karena menurutku di tahun 2021 banyak sekali pembelajaran yang aku dapat terlepas dari manis atau pahitnya. Mungkin setiap tahun akan begitu, tapi kali ini berbeda. 


Hmm, supaya lebih tertata aku akan gambarkan dan ceritakan tahun 2021 ke dalam dua bagian.        Yang pertama adalah Memaknai kehilangan, yang kedua  Tentang Mimpi. Dua hal inilah yang membuat awal usia 22 dan  tahun 2022 ku coba jalani dengan lebih mindfullness. Ya, aku gak tau apakah itu perumpamaan yang tepat tapi mari kita cari tahu dan bahas bersama sampai tulisan ini selesai.

            

Bagian Pertama

Memaknai kehilangan

Kata pepatah berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Rasa sakit itulah yang akan aku bawa untuk membuka tulisan ini, seperti judul sub bab yang aku tulis, cerita pertama ini tentang kehilangan, salah satu bagian yang paling berat yang aku alami, atau mungkin bisa dibilang patah hati terbesar selama hidup 21 tahun di dunia yang pernah aku rasa. Mungkin jika dua, lima, atau berpuluh tahun yang akan datang, kalau aku sebut atau mengingat tahun 2021, maka kata yang terlintas pertama adalah kehilangan. Saking beratnya, menulis bagian ini pun mata ku sudah berkaca-kaca. Ingatan ku kembali malayang merasakan mimpi dan petir di siang bolong pada hari Selasa tanggal 14 September 2021 itu. Hari itu, otak ku mendadak beku, seperti ikut hilang jiwaku mendengar kabar dari telepon acil (tanteku) yang mengatakan bahwa nenek telah tiada, meninggalkanku, meninggalkan kami di dunia.

Segera aku, mama, dan ayah bergegas berangkat pergi ke kota, ke rumah nenek. Entah bagaimana siang itu hujan deras di jalan, mobil yang yang dikendarai ayah melaju tapi rasanya sangat lambat. Aku dan mama yang coba mencerna tentang kabar ini, hanya diam membisu sambil berpegangan tangan dengan erat, mataku menerawang banyak hal, dan tanpa kusadari ia menjadi basah. Tiga puluh menit perjalanan seolah seperti berjam-jam, aku ingin segera memastikan bahwa ini hanya ini mimpi, tapi hujan seolah tak mengizinkan dan ayah harus mengendarai mobil dengan hati-hati.

Di depan gang rumah nenek, bendera putih lambang duka berdiri, dan saat masuk ke dalam gang tepat di depan rumah telah banyak wajah-wajah familiar berkumpul dengan wajah sendu. Benci aku mengingatnya, kesedihan itu, waktu itu seketika aku menolak menangis dan anehnya memang tidak bisa. Mobil berhenti, mama segera turun dan masuk ke dalam rumah, sempoyongan badannya lemah, mendekati neneku, mendekap ibunya, wanita yang paling berati di hidup mama, hidup ku juga. Sedangkan aku kikuk menempatkan diri, rumah nenek yang tidak luas penuh dengan keluarga. Kemudian satu-satunya orang yang aku cari adalah acil, kakak wanita tertua mama. Ternyata acil tengah sibuk mencari beberapa hal untuk pemakaman nenek di dalam kamar, aku mendatanginya, memeluknya tanpa sepatah kata pun. Disitu baru tangisku pecah kembali, tidak bisa aku bayangkan menjadi acil yang hidupnya 24/7 bersama dengan nenek menghadapi kepergiannya yang sangat mendadak ini dan yang lebih tidak bisa kubayangkan adalah bagaimana kelak dia menjalani hari-harinya setelah hari ini.

Singkat cerita, karena hari itu hujan cukup deras hingga sore dan hal-hal lain yang kurang memungkinkan untuk dilakukan pemakaman segera, maka pemakaman nenek baru dilakukan ke-esokan harinya. Sepanjang malam, banyak sanak saudara, kerabat dan tetangga yang silih berganti bertakziah, dan hampir reaksi semua orang sama, merek kaget, tidak percaya, menangis, dan mengeluarkan pertanyaan yang sama "hiba kesahnya?" atau dalanm bahasa Indonesia, "Bagaimana kejadiannya?" 


Dan acil ku bercerita bahwa pagi itu nenek mengeluh sakit kepala, ya aku dan mama juga tahu hal itu karena tadi pagi pun acil masih sempat mengabari mama, tapi tadi pagi acil juga bilang kalau gak perlu khawatir, keadaan nenek sudah membaik tapi masih tiduran saja, istirahat. Mungkin sebagai konteks aku ingin memberitahukan bahwa di umur nenek yang sudah 82 tahun, alhamdulillah fisiknya masih bisa dibilang sehat dan bugar, nenek punya banyak kegiatan, urusan masak-memasak, mengurusi tanaman dan kebun kecil di depan rumah, menjahit, pengajian di langgar (musholla), masih kuat menjalankan puasa ramadhan dan shola terawih, bahkan sebelum pandemi nenek rutin sekali ikut senam lansia di puskesmas dan sesekali membantu masak di usaha catering keluarga. Se sehat itu memang, kecuali pendengaran dan penglihatannya saja yang sudah mulai menurun tapi rasanya itu wajar. Dan sesekali mengeluh sakit sendi juga itu sangat wajar untuk usia dan aktivitasnya. Tapi ternyata, sakit kepala di pagi hari itu telah menjadi garis takdir yang ditentukan Tuhan. Kembali ke cerita acil, setelah menelepon dan mengabari mama tadi pagi nenek memang langsung tidur dengan keadaan belum makan, oleh karena itu acil yang hari itu juga kebetulan izin tidak berangkat kerja pun menyiapkan masakan di dapur, bersih-bersih, mencuci dan sebagainya. Setelah selesai semua, termasuk masakan untuk makan siang, acil pun membangunkan nenek. Tapi nenek tidak merespon, acil sudah firasat tapi masih berusaha berfikir yang baik-baik saja, acil bangunkan lagi, nenek masih tidak menjawab. Kemudia acil memanggil paman ku minta tolong untuk mengecek keadaan nenek, paman khawatir dan merasakan firasat yang sama, tapi karna masih tidak yakin acil pun pergi ke tetangga dan paman tinggal di rumah menemani nenek. Kebetulan siang itu ada tetangga yang sedang duduk-duduk di depan rumah, acil pun menceritakan apa yang terjadi dan meminta tolong untuk memastikan.


Segeralah acil dan tetangga kami tersebut memastikan keadaan nenek, dan ya nenek sudah tiada. Acil segera mengabari mama, dan keluarga yang lain. Begitu cepat , begitu cepat kata acil. Tapi yang mengharukan adalah acil bilang bahwa saat pertama kali mencoba membangunkan nenek, posisi tangan nenek sudah bersedekap, dengan wajah tidur yang tersenyum. Oh dalam bayangan ku betapa mulusnya malaikatnya mencabut nyawa nenek yang selama hidupnya, setidaknya selama yang aku tahu adalah seorang ibu yang berhati lembut dan lapang penuh dengan kasih sayang. Dan ya pendapatku itu valid, itu terbukti pada hari kepergiannya, semua orang yang datang untuk bertakziah sangat banyak dan semua menceritakan perihal kebaikan-kebaikan nenek. Ya aku tau kalau orang sudah tiada maka orang-orang pun akan mengingat hal-hal yang baik saja, mungkin ini juga yang berlaku pada nenek. Tapi, kalau kalian berada pada posisiku maka kalian aku tau makna yang lebih dalam dari itu. Kebaikan disini bukan hanya sekedar buaian, memang setulus itu hatinya dan semoga dengan kebaikan dan tulus hatinyalah almarhum nenek dapat pengampunana dan tempat yang terbaik di sisi Sang Pencipta. Aamiin.


Pada kesempatan ini pula, izinkan aku sedikit menceritakan bagaimana hubunganku dengan nenek. Aku memang bukan cucu pertamanya, kalau diurutkan aku adalah cucu ke empat. Tapi aku lahir dan tumbuh besar lebih bnayak di rumah nenek, mungkin ini ada hubungannya karena aku adalah cucu pertama dari anak perempuannya. Satu tahun usia pertama ku tinggal di rumah nenek, ya karna mama dan ayah belum punya rumah terlebih ayah yang bekerja sebagai sopir, makan supaya aman dan nyaman aku dan mama tinggal di rumah nenek. Hingga akhirnya ayah dan mama punya rumah sendiri pun memori masa kecilku masih didominasi dengan memori-memori di rumah nenek karena setidaknya dalam satu minngu pasti kami menginap di rumah nenek, dan ini berlangsung hingga aku SMP. Bagaimana dengan SMA? Ini lebih manis lagi, karena selama tiga tahun SMA justru aku tinggal bersama nenek, hanya sabtu minggu yang pulang ke rumah mama dan ayah. Selama tiga tahun itulah bondingku dengan nenek semakin kuat, rasanya melebihi kedekatan antara mama dan nenek, kenapa aku bisa bilang begitu karena mungkin aku adalah salah satu atau satu-satunya yang paham dan sabar untuk berbicara kepada nenek, karena seperti yang aku ceritakan sebelumnya bahwa pendengaran nenek sudah berkurang dengan begitu berbicara dengan nenek harus dengan artikulasi mulut yang jelas dan suara yang sedikit tinggi. Mama sedikit payah untuk hal ini, dan akulah jagonya. Selain itu, aku juga biasa mengobrol banyak hal dengan nenek dari mulai garis keturunan hingga jurusan kuliah yang aku tempuh, mendengarkan nenek bercerita tentang pengalaman-pengalamannya menciptakan kebahagiian tersendiri untuk ku walaupun aku tahu ceritanya itu-itu saja, menemaninya menonton tv sembari sesekali menjelaskan apa yang sedang artis-artis itu biacarakan, aku juga tidur tidak hanya satu kamar tapi satu kasur dengannya, memeluknya. Menemaninya datang ke acara pengajian keluarga, ke undangan tetangga atau kerabat, menemani nenek belanja ke pasar, hingga mencari uban di rambutnya yang sudah tipis seminggu sekali di teras rumah.  


Sedangkan apa yang dilakukan nenek kepadaku mungkin akan lebih besar dari pada hal-hal sederhana yang aku lakukan untuknya. Dari aku kecil hingga aku sudah besar pun, nenek sering menjahitkan ku baju , rok, celana, semuanya, saat aku SMA nenek hampir tidak pernah absen menyiapkan bekal makanan untuk ku, memasak dari jam 4 pagi,"Menguliahkanku" secara tidak langsung, dan yang terpenting yang mungkin tidak dia sadari adalah telah menjadi panutan dalam hidupku tentang bagaimana menyanyangi dengan tulus, semangat beraktivitas dan beribadah hari demi hari walaupun di usia yang sudah tak lagi muda, ikhlas memberi tanpa meminta kembali, dan banyak lagi yang tak bisa aku kiaskan dengan kata-kata. Dengan semua kenangan dan kedekatan itu, hari pertama hingga ketiga kepergiannya aku merasa ia masih ada otak menolak menerima kenyataan, air mata ku jatuh lebih karena melihat mama yang sedih luar biasa. Tapi setalah hari keempat barulah aku mampu mencerna apa yang telah terjadinya. Aku masih ingat, malam ke empat, setelah sholat maghrib, tangisku pecah terisak-isak karna telah sadar ternayata sosok yang mengisi separuh jiwaku itu benar-benar telah meninggalkanku di dunia. Bahkan kadang hingga hari ini aku juga masih berfikir bahwa nenek masih ada, tapi saat melihat fotonya tangisku kembali pecah, setiap datang ke rumah nenek, masuk ke ruang tengah, melihat dapur yang sepi hati ku seperti remuk terbayang dan teringat biasanya disambut senyum hangatnya.


Ah aku menangis lagi. Apalagi jika mengingat bahwa tahun lalu masih ada percakapan bahwa tahun depan (tahun ini 2022) aku akan lulus kuliah dan wisuda, membayangkan foto keluarga dan nenek bangga memajang fotoku di dinding rumahnya yang seperti museum itu. Tapi, siapalah aku hanya hamba yang bisa berencana sedangkan Tuhan Yang Maha Kuasa lebih menyanyangi nenek dan punya rencana lain.


Dengan kejadian yang cukup berat ini, aku baru benar-benar tau apa dan bagaimana rasanya kehilangan dan apa yang aku maknai darinya? Sederhana mungkin cenderung klise tapi itu adanya, yaitu pertama aku lebih menghargai waktu dan kebersamaan dengan orang-orang tercinta, yang kedua hidup ini memang bukan kuasa kita, nyawa kita seutuhnya milik Yang Maha Pencipta, ketiga tidak terlalu memusingkan dengan masalah atau aapaun yang datang dalam kehidupan karna pun pada akhirnya akan kita tinggalkan, dan yang keempat adalah menghayati bekal apa yang aku sudah siapkan untuk kehidupan akhirat ?


Nek, salam rindu selalu...

 edited : Tanpa terasa sudah satu tahun nenek dipanngil oleh Allah, dan seperti yang dua tahun lalu kita angankan tahun ini kakak sudah wisuda nek, dan Alhamdulillah sudah kerja jugaa. Maaf kalau  kakak jarang mendoakan nenek bukan karena tidak mau, tapi karena kakak selalu merasa nenek masih ada... Tapi, tidak lagi nek, kakak akan lebih rajin  mendoakan nenek bahkan di tiap detik 
(12 September 2022). 


Seperti kata Newton  dalam Hukum Kekekalan Energi "Energi tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan, energi hanya dapat diubah dalam bentuk lainnya" dan ya, bagi kakak Nenek adalah energi , dan kepergian nenek adalah proses untuk kakak mengubah energi itu dalam bentuk yang lain. Seperti cinta, ketulusan, dan kebijaksanaan dalam menjalani hidup, dan dengan begitu nenek kekal dalam hidup kakak.

....bersambung ke bagian kedua

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlahan dan Puisi Lainnya

https://id.pinterest.com/pin/339951471885217465/ 1. perlahan ia pudar perlahan ia hambar perlahan ia jauh perlahan ia asing perlahan ia layu perlahan ia tumbang perlahan ia surut perlahan ia padam perlahan ia sepi  -lagi seperti sedia kala tanpa dan tiada hanya ada tanya tentang mengapa dan- apakah semua akan berujung sia-sia semata / https://id.pinterest.com/pin/1337074885052673/ 2. jarak yang diberikan oleh waktu meninggalkan tanya dalam kepalaku -bagaimana ? apakah ? oh, entahlah jarak di antara waktu, saat kau menghampiri lalu pergi aku hanya berdiam diri memastikan mentari masih bersinar walau kulitku tak merasa hangatnya dingin dan dingin dari malam semalam / https://id.pinterest.com/pin/844213892663524128/ 3. Jika Aan Mansyur berujar, puisi adalah museum yang lengang maka hari-hariku telah berubah menjadi puisi Namun sepanjang lengang hari ku, kau akan tetap kunanti,  -sebab Jika Sapardi bertanya, "tapi, yang fana adalah waktu bukan?" ku harap dapat menjawabnya dengan

Hobi Kok Jalan Kaki?!

      Satu kalimat pepatah Jawa yang sekarang aku percayai adalah "Trisno jalaran seko kulino" yang artinya  "Cinta datang karena terbiasa". Tapi jangan salah dulu, ini bukan cerita cinta ku terhadap seseorang, melainkan cerita cinta terhadap sebuah kegiatan sederhana, yap "jalan kaki" . Kalau mau dirunut dari jauh maka cerita cinta ini dimulai kurang lebih dari tahun 2015, tahun dimana aku baru masuk SMA. Tapi, karena aku tidak mau terlalu panjang lebar maka kita langsung loncat aja  ke tahun 2018. Tahun 2018 adalah tahun dimana hidup ku berubah, tahun dimana aku pergi jauh untuk merantau. Seperti banyak cerita kehidupan orang-oarang yang merantau dengan segala keterbatasan dan keperihatinan, maka itu juga aku alami. Salah satu keterbatasan yang aku alami adalah hidup tanpa kendaraan pribadi yang  mungkin untuk sebagian orang di zaman yang modern ini adalah sebuah mimpi buruk (hehe maaf kalau lebay) tapi untuk ku tidak ada pilihan lain, toh masih bersyuku

Puisi Kabut, dan Dalam Dunia

1. Dalam Dunia Dalam dunia Riuh gemuruh, suara-suara bising melengking Candu beradu bak serdadu Kelam dalam diam yang suram Bingung linglung, merebah rasa lelah di malam kelam Berkisah rasa lara hingga lega,  Lupa pernah berjumpa Dulu selalu berjuang agar berpeluang Kini nurani ingin mendingin mati Siapa kira kita di antara samudera Berjelaga jiwa-jiwa hampa Sampai kini hati menanti Sampaikah langkah pada kisah yang indah 2. Kabut Dalam perjalanan mendaki Adakalanya kabut menghalangi jalan Kompas tak berfungsi Teman seperjalanan dehidrasi Lalu kita memaksa terus naik Yang ada justru lelah Perasaan hampir menyerah Seperti hilang arah Padahal kita tahu Yang perlu kita lakukan saat itu hanyalah Hanyalah berhenti, berpikir sejenak Melihat sekitar, berbagi minum bertukar haus dengan teman Memperbaiki kompas sebisanya Mengenal pertanda pertana Lalu mengambil langkah setapak bijaksana aem, 15 Juli 2023